Senin, 01 Juli 2013

KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT PETANI DALAM SISTEM LIVELIHOOD PEDESAAN KECAMATAN KEDUNGJATI KABUPATEN GROBOGAN



 Sistem livelihood pedesaan merupakan suatu sistem yang menggambarkan kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup dan penghidupannya.Sistem livelihood ini berkaitan dengan pola penggunaan, serta akses dan aset atas kepemilikan sumberdaya. Sumberdaya yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi sumberdaya manusia, alam, finansial, dan modal sosial. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah kuntitatif serta sistem livelihood pedesaan Kecamatan Kedungjati. Analisis ini dilakukan dengan pemanfaatan Sistem Informasi geografis yaitu Interpolasi sebagai analisis spasial atas kondisi sosial ekonomi rumah tangga masyarakat pedesaan. Analisis ini menduga nilai-nilai sosial ekonomi pada lokasi yang datanya tidak tersedia.

Dengan limitasi yang dimiliki seperti kepemilikan lahan, keterbatasan sumberdaya air, dan kepemilikan ketrampilan, petani tetap dituntut untuk terus hidup dan memenuhi kebutuhan dasar keluarganya. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, karakteristik sosial ekonomi masyarakat Kecamatan Kedungjati dapat digeneralisasi dalam tiga klasifikasi bertingkat sesuai dengan tingkat pendapatanannya. Sekitar 55,88% perekonomian petani memiliki pendapatan di bawah UMR Kabupaten Grobogan dan menjadikannya dalam klasifikasi zona 1. Meskipun memiliki peluang untuk berpindah zona, masyarakat di zona ini juga berpeluang lebih besar untuk menurunkan kemiskinan kepada generasi seterusnya.

Pengklasifikasian karakteristik sosial ekonomi tersebut tidak bersifat permanen. Dalam suatu hal, perpindahan karakter sosial ekonomi antar klasifikasi sangat mungkin terjadi. Ada beberapa faktor kerentanan yang dapat mempengaruhi karakteristik sosial ekonomi masyarakat Kedungjati, diantaranya mengenai perijinan penggunaan lahan oleh PT. Perhutani, harga komoditas dan input produksi pertanian, kepemilikan pekerjaan sampingan, serta peningkatan produktifitas hasil pertanian.


more.. http://www.4shared.com/office/J49alcGR/JURNAL_TA.html


Interpolasi dalam Sistem Informasi Geografis (SIG)



Membagi daerah tertentu ke dalam zona homogen akan membantu pemahaman tentang bagaimana informasi yang didistribusikan di daerah tertentu memiliki karakteristik serupa (Rudiarto, 2010). Dalam SIG, proses homogenitas ini dilakukan dengan menggunakan teknik interpolasi. Interpolasi adalah suatu metode atau fungsi matematika yang menduga nilai pada lokasi-lokasi yang datanya tidak tersedia. Interpolasi spasial mengasumsikan bahwa atribut data bersifat kontinu di dalam ruang (space) dan atribut ini saling berhubungan (dependence) secara spasial (Anderson, 2001 dalam Christanto dkk, 2005). Kedua asumsi tersebut mengindikasikan bahwa pendugaan atribut data dapat dilakukan berdasarkan lokasi-lokasi di sekitarnya dan nilai pada titik-titik yang berdekatan akan lebih mirip dari pada nilai pada titik-titik yang terpisah lebih jauh.

Logika dalam interpolasi spasial adalah bahwa nilai titik observasi yang berdekatan akan memiliki nilai yang sama (mendekati) dibandingkan dengan nilai di titik yang lebih jauh (Hukum geografi Tobler, dalam Christanto dkk, 2005). Pendekatan interpolasi dibutuhkan untuk mengeneralisasi data spasial dari pengumpulan data sampling dimana data tidak tersedia pada seluruh sebaran spasial (Rudiarto, 2010). Untuk menutup semua wilayah pada wilaya studi, data sosial ekonomi rumah tangga yang diperoleh berdasarkan hasil survei digeneralisasi melalui metode interpolasi yang tersedia dalam Sistem Informasi Geografis. Hubungan langsung antara data sosial ekonomi dan posisi secara geografis mensyaratkan terdapatnya data agregat pada tingkat spasial seperti pendapatan petani dan lokasi rumah tangga. Pada penelitian ini metode interpolasi digunakan untuk mengeneralisasi karakteristik sosial ekonomi kedalam data spasial.

Pemahaman tentang bagaimana jaringan interpolasi dibuat tergantung pada bagaimana interpolasi dilakukan pada satu titik. Interpolasi data spasial secara khusus bertujuan untuk interpolasi dari data titik. Interpolasi spasial adalah prosedur dalam memperkirakan nilai sebuah variabel lapangan yang tidak termasuk dalam sampel penelitian dan berlokasi di dalam area yang dicakup oleh lokasi sampel atau dalam kata-kata sederhana, diberikan

Dalam rangka untuk menentukan nilai-nilai yang dihasilkan pada bagian unsampel, ada empat teknik interpolasi yang diterapkan, yaitu :
a. Jarak Inverse Tertimbang (IDW)
Teknik interpolasi ini mengasumsikan bahwa setiap titik memiliki pengaruh lokal, yang berbanding terbalik dengan kekuatan yang dipilih dari kejauhan

b. Spline
Metode interpolasi bahwa perkiraan nilai dengan menggunakan fungsi matematika yang meminimalkan keseluruhan permukaan kelengkungan dan menghasilkan permukaan yang halus yang melewati titik-titik masukan.

c. Kriging
Teknik interpolasi ini menghitung jarak atau arah antara titik sampel untuk menunjukkan korelasi spasial yang dapat membantu untuk menggambarkan lokasi

d. Trend
Interpolasi teknik ini sesuai fungsi matematika, polinomial tatanan tertentu, ke semua titik masukan (Naoum dan Tsanis, 2004 dalam Rudiarto, 2010).

dalam Tugas Akhir Aulisa Rahmi, 2012. Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Pedesaan dalam Sistem Livelihood Pedesaan Kedungjati

Sistem Livelihood (Penghidupan) Pedesaan



 Livelihood adalah istilah pembangunan yang menggambarkan kemampuan (capabilities), kepemilikan sumber daya (sosial dan material), dan kegiatan yang dibutuhkan seseorang/masyarakat untuk menjalani kehidupannya (Ramli, 2007). Secara etimologis, livelihood dapat diartikan sebagai aset (alam, manusia, finansial, sosial dan fisik), aktifitas dimana akses atas aset dimediasi oleh kelembagaan dan relasi sosial yang secara bersama mendikte hasil yang diperoleh oleh individu maupun keluarga (Seragih, dkk 2007). Sementara itu, akses dapat didefinisikan sebagai suatu aturan dan norma sosial yang mengatur atau mempengaruhi keampuan yang berbeda antar individu dalam memiliki, mengontrol, mengklaim atau menggunakan sumber daya seperti penggunaan lahan di pedesaan.

Livelihood dapat diartikan sebagai penghidupan dalam arti luas. Livelihood atau penghidupan juga dapat diartikan sebagai upaya yang dilakukan setiap orang untuk memperoleh penghasilan, termasuk kapabilitas mereka, aset yang dapat dihitung seperti ketersediaan dan sumber daya, serta aset yang tak bisa dihitung seperti klaim dan akses. Sementara itu, konsep livelihood berkelanjutan dimaknai sebagai “kemampuan, aset (pasar, sumberdaya, klaim kepemilikan, dan aset) serta aktivitas-akitivitas yang diperlukan untuk menunjang kehidupan” (WCED, 1987 dalam Chambers & Conway, 1991). Dengan kata lain, livelihood atau penghidupan ini dapat dipahami sebagai suatu ketahanan dalam menunjang pemulihan atau perbaikan dari goncangan atau tekanan; kemampuan memelihara atau meningkatkan aset; dan ketahanan menyediakan peluang penghidupan untuk menyokong manfaat penghidupan generasi mendatang dalam skala lokal dan dalam jangka pendek atau panjang. Aspek kehidupan dan penghidupan difokuskan pada kemampuan, termasuk sumber daya material dan sosial; modal; dan aktivitas sebagai komponen yang dapat menjelaskan mengapa masyarakat lokal masih bisa bertahan dan mengatasi kesulitan akibat goncangan hidupnya (Scoones 1998:5; Chambers dkk, 1992 dalam Mukbar: 2009).

Menurut Sajogyo (dalam Dharmawan; 2007), livelihood dan mata pencarian masyarakat pedesaan selalu merujuk pada sektor pertanian (dalam arti luas). Dalam posisi sistem ekonomi yang demikian, basis mata pencarian rumah tangga petani adalah segala aktivitas ekonomi sektor pertanian dan non-pertanian. Karakteristik sistem livelihood yang dicirikan dengan bekerjanya kedua sektor ekonomi semacam ini, dibangun oleh 3 elemen penting. Ketiga elemen tersebut yaitu: (1) infrastruktur sosial (setting kelembagaan dan tatanan norma sosial yang berlaku, (2) struktur sosial (setting lapisan Livelihood adalah istilah pembangunan yang menggambarkan kemampuan (capabilities), kepemilikan sumber daya (sosial dan material), dan kegiatan yang dibutuhkan seseorang/masyarakat untuk menjalani kehidupannya (Ramli, 2007). Secara etimologis, livelihood dapat diartikan sebagai aset (alam, manusia, finansial, sosial dan fisik), aktifitas dimana akses atas aset dimediasi oleh kelembagaan dan relasi sosial yang secara bersama mendikte hasil yang diperoleh oleh individu maupun keluarga (Seragih, dkk 2007). Sementara itu, akses dapat didefinisikan sebagai suatu aturan dan norma sosial yang mengatur atau mempengaruhi keampuan yang berbeda antar individu dalam memiliki, mengontrol, mengklaim atau menggunakan sumber daya seperti penggunaan lahan di pedesaan.

Livelihood dapat diartikan sebagai penghidupan dalam arti luas. Livelihood atau penghidupan juga dapat diartikan sebagai upaya yang dilakukan setiap orang untuk memperoleh penghasilan, termasuk kapabilitas mereka, aset yang dapat dihitung seperti ketersediaan dan sumber daya, serta aset yang tak bisa dihitung seperti klaim dan akses. Sementara itu, konsep livelihood berkelanjutan dimaknai sebagai “kemampuan, aset (pasar, sumberdaya, klaim kepemilikan, dan aset) serta aktivitas-akitivitas yang diperlukan untuk menunjang kehidupan” (WCED, 1987 dalam Chambers & Conway, 1991). Dengan kata lain, livelihood atau penghidupan ini dapat dipahami sebagai suatu ketahanan dalam menunjang pemulihan atau perbaikan dari goncangan atau tekanan; kemampuan memelihara atau meningkatkan aset; dan ketahanan menyediakan peluang penghidupan untuk menyokong manfaat penghidupan generasi mendatang dalam skala lokal dan dalam jangka pendek atau panjang. Aspek kehidupan dan penghidupan difokuskan pada kemampuan, termasuk sumber daya material dan sosial; modal; dan aktivitas sebagai komponen yang dapat menjelaskan mengapa masyarakat lokal masih bisa bertahan dan mengatasi kesulitan akibat goncangan hidupnya (Scoones 1998:5; Chambers dkk, 1992 dalam Mukbar: 2009).

Menurut Sajogyo (dalam Dharmawan; 2007), livelihood dan mata pencarian masyarakat pedesaan selalu merujuk pada sektor pertanian (dalam arti luas). Dalam posisi sistem ekonomi yang demikian, basis mata pencarian rumah tangga petani adalah segala aktivitas ekonomi sektor pertanian dan non-pertanian. Karakteristik sistem livelihood yang dicirikan dengan bekerjanya kedua sektor ekonomi semacam ini, dibangun oleh 3 elemen penting. Ketiga elemen tersebut yaitu: (1) infrastruktur sosial (setting kelembagaan dan tatanan norma sosial yang berlaku, (2) struktur sosial (setting lapisan sosial, struktur agraria, struktur demografi, pola hubungan pemanfaatan ekosistem lokal, pengetahuan lokal), (3) supra-struktur sosial.
               Livelihood pedesaan pada dasarnya mengikat keluarga petani dan non petani sebagai satu kesatuan dalam area pedesaan dengan karakteristiknya masing-masing. Kondisi pendesaan, baik secara infrastruktur, administratif, dan organisasi pedesaan memberi pengaruh pada sistem livelihood pedesaan yang pada akhirnya juga berdampak pada pembangunan wilayah secara keseluruhan.
                                                                                                               
Aset Livelihood
Daerah pedesaan umumnya masih memiliki ikatan kekerabatan yang kuat, termasuk didalamnya hubungan pertukaran modal, akses yang besar terhadap kekayaan sumber daya hutan, dan pengetahuan lokal yang baik. Namun kelemahan mereka atas semua itu adalah rendahnya modal finansial yang dimiliki, serta akses yang terbatas terhadap pendidikan formal.
Masyarakat membutuhkan sejumlah aset untuk mencapai tingkat livelihoods yang positif. Oleh karena itu, kepemilikan hanya satu jenis aset dirasa tidak lagi cukup untuk mencapai hasil-hasil penghidupan yang jumlahnya banyak dan berbeda-beda, terutama bagi warga miskin/marginal yang memiliki keterbatasan akses terhadap capital aset. Sebagai akibatnya, orang-orang tersebut harus mencari cara untuk memperoleh dan menggabungkan berbagai aset yang benar-benar mereka miliki dengan cara yang inovatif guna mempertahankan hidup. Kekuatan seseorang ditentukan oleh besar/kecilnya, keragaman, dan keseimbangan antar aset. 

FAO (Food Agricultural Organization) mengemukakan setidaknya ada 5 aset yang mempengaruhi bentuk-bentuk penghidupan masyarakat pedesaan. Kelima aset livelihood tersebut dapat disederhanakan sebagai bentuk pentagon segi lima (FAO, 2003).
 Adapun kelima aset yang mempengaruhi livelihood dapat diurai sebagai berikut :

a. Sumber daya manusia
Sumber daya manusia yang dimaksudkan sebagai aset livelihood dapat dilihat berdasarkan kesehatan masyarakat, kesempatan kerja, pengetahuan, pendidikan, kemampuan yang dimiliki serta tenaga kerja. Di kawasan pedesaan memang terdapat peningkatan kuantitas tenaga kerja, tetapi pada dasarnya kenaikan tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar di pedesaan.

b. Modal sosial
Modal sosial merupakan alasan yang mengakibatkan orang dapat bekerja bersama, baik dalam rumah tangga maupun dalam masyarakat luas. Di dalam kehidupan masyarakat, masing-masing rumah tangga yang berbeda akan dihubungkan bersama oleh ikatan kewajiban sosial, hubungan timbal balik, kepercayaan dan hubungan yang saling mendukung.

c. Modal fisik
Modal fisik termasuk kedalamnya alat, infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, baandara, serta fasilitas pasar (dalam artian yang lebih luas), air, atau fasilitas perawatan kesehatan yang akan mempengaruhi kemampuan orang lain untuk mendapatkan kehidupan yang layak.

d. Modal finansial
Modal keuangan yang tersedia bagi rumah tangga pedesaan berasal dari hasil poduksi pertanian. Mereka juga dapat menggunakan kredit formal dan informal untuk melengkapi sumber keuangan mereka.

e. Sumber daya alam
Bagi masyarakat pedesaan yang termasuk dalam sumber daya alam antara lain tanah, air, sumber daya hutan, dan ternak. Tanah merupakan salah satu dari dua sumberdaya utama populasi pedesaan. Ketersediaan lahan tergantung pada banyaknya rumah tangga dan sistem kepemilikan lahan. Biasanya petani memiliki akses tanah melalui warisan, sewa tanah dan bagi hasil. Namun belakangan dalam kehidupan pedesaan masyarakat, distribusi tanah melalui warisan sudah mulai di tinggalkan.Oleh karenanya, mulai terdapat ekspansi lahan pertanian pada lahan-lahan lindung. Akibatnya jumlah pemilik lahan menurun dan rumah tangga yang tidak memiliki lahan meningkat.

Berbagai aset yang dikemukan tersebut di atas, selayaknya menjadi kebutuhan yang diperlukan secara bersamaan untuk saling menunjang dan sekaligus menjamin keberlangsungan penghidupan masing-masing individu dan rumah tangga. Ketersediaan akses terhadap sumber kapital pun berpengaruh terhadap proses pembentukan bahkan perubahan struktur dalam masyarakat. Lebih jauh lagi hal tersebut berpengaruh terhadap pendapatan dan keberlanjutan rumah tangga.

Kekuatan sumber daya atau aset yang dimiliki antar keluarga dalam sebuah pedesaan ataupun antara individu dalam keluarga tidaklah homogen. Oleh karenanya aktifitas/kegiatan setiap masyarakat yang berbeda menuju capaian dan hasil penghidupan yang berbeda-beda pula. Istilah „miskin‟ sendiri dalam konteks kekinian bisa dipahami sebagai suatu capaian atau hasil penghidupan yang dicapai hingga „saat ini‟ yang diindikasikan oleh penguasaan/ pemilikan/akses atas aset atau sumber daya atau capital/modal yang terbatas.

Pada tingkatan yang paling kasat mata, kaum miskin atau yang dipersepsikan miskin dalam kenyataannya memiliki capital asset yang sangat terbatas. Lazimnya, satu aset sumber daya alam bisa menghasilkan keuntungan ganda. Sebagai contoh, jika seseorang memiliki akses yang aman terhadap tanah atau lahan (natural capital) mereka sangat mungkin juga terfasilitasi untuk mendapatkan financial capital, karena mereka bisa menggunakan tanah atau lahan tersebut bukan hanya untuk kegiatan produksi (pertanian) sendiri semata tetapi juga bisa disewakan.

Dimuat dalam Tugas Akhir Aulisa Rahmi; 2012; Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Petani dalam Sistem Livelihood Pedesaan Kedungjati

Pengembangan Pedesaan




Pedesaan adalah perangkat negara yang secara administratif paling kecil dan sederhana. Desa identik dengan masyarakat petani, yaitu dalam kehidupan sehari-hari, desa berkembang dengan kombinasi usaha pertanian yang dominan terhadap usaha-usaha kecil lain di luar pertanian yang bervariasi sebagai penunjang (Fatah, 2007). Sementara itu, pengembangan pedesaan merupakan suatu usaha yang dengan sadar merencanakan pengembangan kawasan pedesaan ditinjau dari berbagai segi sebagai satu kesatuan yang bertujuan untuk menciptakan keseimbangan hubungan manusia dan alamnya (Nurzaman, 2002). Adapun aspek yang tercakup dalam pengembangan pedesaan adalah aspek ekonomi, aspek sosial, dan aspek fisik. Sehingga hal paling penting yang dapat dilakukan dalam pengembangan pedesaan adalah menyelaraskan struktur hubungan spasial dari suatu aktifitas ekonomi (Friedman, 1996).

Kawasan perdesaan secara teoretis dan empiris sering dipandang sebagai sesuatu yang dilematis, di satu sisi pedesaan memiliki peran sebagai penghasil bahan mentah, tenaga kerja, serta pemelihara kelestarian lingkungan dan keanekaragaman hayati, namun di sisi lain perkembangan perdesaan seringkali tertinggal dari kawasan perkotaan. Hal ini semakin diperburuk dengan adanya dikotomi pembangunan desa-kota yang marak belakangan ini, kota dianggap sebagai kawasan pusat (center) dan desa sebagai kawasan pelengkap/pendukung (periphery). Kecenderungan pembangunan yang bias menyebabkan gagalnya transmisi efek pembangunan ke desa .

Pedesaaan dan pertanian merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Adapun peranan pertanian dalam perekonomian antara lain menyediakan kebutuhan pangan serta menjaga ketahanan pangan suatu daerah; menyediakan bahan baku industri; merupakan pasar potensial produk industri; sumber tenaga kerja dan pembentukan modal yang diperlukan bagi pembangunan sektor lain; sebagai sumber devisa; mengurangi kemiskinan dan peningkatan ketahanan pangan; terlibat dalam pelestarian lingkungan (Kuznets, 1964 dalam Panggabean 2008). Pertumbuhan pertanian tidah hanya efektif dalam mengurangi kemiskinan di pedesaan, tetapi juga lebih efektif untuk mengurangi kemiskinan perkotaan. Adanya peningkatan pendapatan sektor pertanian per pekerja menyebabkan peningkatan pendapatan di tingkat ekonomi di semua strata pendapatan. (Norton, 2004).

Dalam pengembangan pedesaan, kegiatan pertanian memegang peranan penting untuk menunjang pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini pertanian dapat bekerja sama dengan sektor lainnya (non pertanian) untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, mengurangi kemiskinan, dan mempertahankan lingkungan. Kegiatan pertanian berkontribusi terhadap perkembangan pedesaan dalam tiga hal yaitu sebagai aktivitas ekonomi, sebagai livelihood dan sebagai penyedia pelayanan lingkungan (World Bank, 2008)

Untuk menjadikan pertanian sebagai sumber utama pertumbuhan wilayah, setidaknya perlu dilakukan peningkatan pada instrumen pengembangan pertanian yaitu sebagai berikut :

a. Peningkatan akses terhadap aset
Aset rumah tangga merupakan penentu utama kemampuan untuk berpartisipasi dalam pasar pertanian, livelihood yang aman, dan mendapatkan pekerjaan dengan memanfaatkan ketrampilan.. Meskipun disisi lain aset kaum miskin pedesaan seringkali diperas oleh pertumbuhan penduduk, degradasi lingkungan, pengambilalihan domain kepentingan, dan bias sosial dalam kebijakan.
Adapun aset yang dimaksudkan adalah ketersediaan lahan, air, pendidikan dan kesehatan. Ketersediaan tanah dapat meningkatkan produktivitas pertanian, membantu rumah tangga dalam melakukan diversifikasi pendapatan, dan memfasilitasi untuk bekerja di luar sektor pertanian. Sementara itu, akses terhada air dan irigasi merupakan penentu utama produktivitas lahan dan stabilisasi hasil pertanian. Produktivitas lahan beririgasi akan menghasilkan panen dua kali lipat lahan tadah hujan.

b. Peningkatan produktivitas dan keberlanjutan pertanian
Untuk meningkatkan produktivitas, profitabilitas dan keberlanjutan pertanian skala kecil serta menjadi jalur utama untuk keluar dari kemiskinan adalah menggunakan pertanian untuk pembangunan pedesaan. Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan antara lain memperbaiki insentif harga dan meningkatkan kualitas serta kuantitas investasi publik; membuat pasar produk bekerja lebih baik; meningkatkan akses ke layanan keuangan dan mengurangi resiko ekspor tidak diasuransikan; meningkatkan kinerja organisasi produsen; mempromosikan inovasi melalui ilmu pengetahuan dan teknologi; dan membuat pertanian lebih berkelanjutan dan penyedia jasa lingkungan.

c. Bergerak di luar sektor pertanian; Dinamika ekonomi pedesaan dan bagaimana berpartisipasi didalamnya. Untuk itu masyarakat petani dapat ditingkatkan dengan menciptakan lapangan pekerjaan non pertanian di pedesaan serta mengembangkan jaringannya (World Bank, 2008)

Selain itu, pertumbuhan sektor pertanian yang cepat juga disebabkan intensifikasi pada subsektor tanaman, yaitu dengan diterapkannya tanaman varietas unggul (Panggabean, 2008). Berbagai faktor lainnya yang perlu dipenuhi untuk dapat mendorong pertumbuhan di sektor non pertanian (Tomich, 1995 Panggabean, 2008) yaitu : adanya kebijakan yang lebih terbuka, dimana proteksi berlebihan bagi sektor industri terutama lewat nilai tukar akan menghambat tumbuhnya pertanian dan menghambar terbangunnya industri yang kompetitif; terbentuknya pasar kredit dan perbankan yang efisien; terbangunnya infrastruktur pedesaan yang mencukupi dan berkualitas untuk menghubungkan daerah pedesaan dengan pasar input maupun output; dan manfaat dari sektor pertanian terdistribusi dengan baik.