Livelihood adalah istilah pembangunan yang menggambarkan
kemampuan (capabilities), kepemilikan sumber daya (sosial dan material),
dan kegiatan yang dibutuhkan seseorang/masyarakat untuk menjalani kehidupannya
(Ramli, 2007). Secara etimologis, livelihood dapat diartikan sebagai
aset (alam, manusia, finansial, sosial dan fisik), aktifitas dimana akses atas
aset dimediasi oleh kelembagaan dan relasi sosial yang secara bersama mendikte
hasil yang diperoleh oleh individu maupun keluarga (Seragih, dkk 2007).
Sementara itu, akses dapat didefinisikan sebagai suatu aturan dan norma sosial
yang mengatur atau mempengaruhi keampuan yang berbeda antar individu dalam
memiliki, mengontrol, mengklaim atau menggunakan sumber daya seperti penggunaan
lahan di pedesaan.
Livelihood dapat diartikan sebagai penghidupan dalam
arti luas. Livelihood atau penghidupan juga dapat diartikan sebagai
upaya yang dilakukan setiap orang untuk memperoleh penghasilan, termasuk
kapabilitas mereka, aset yang dapat dihitung seperti ketersediaan dan sumber
daya, serta aset yang tak bisa dihitung seperti klaim dan akses. Sementara itu,
konsep livelihood berkelanjutan dimaknai sebagai “kemampuan, aset
(pasar, sumberdaya, klaim kepemilikan, dan aset) serta aktivitas-akitivitas
yang diperlukan untuk menunjang kehidupan” (WCED, 1987 dalam Chambers &
Conway, 1991). Dengan kata lain, livelihood atau penghidupan ini dapat
dipahami sebagai suatu ketahanan dalam menunjang pemulihan atau perbaikan dari
goncangan atau tekanan; kemampuan memelihara atau meningkatkan aset; dan
ketahanan menyediakan peluang penghidupan untuk menyokong manfaat penghidupan
generasi mendatang dalam skala lokal dan dalam jangka pendek atau panjang.
Aspek kehidupan dan penghidupan difokuskan pada kemampuan, termasuk sumber daya
material dan sosial; modal; dan aktivitas sebagai komponen yang dapat
menjelaskan mengapa masyarakat lokal masih bisa bertahan dan mengatasi
kesulitan akibat goncangan hidupnya (Scoones 1998:5; Chambers dkk, 1992 dalam
Mukbar: 2009).
Menurut Sajogyo (dalam Dharmawan; 2007), livelihood dan mata
pencarian masyarakat pedesaan selalu merujuk pada sektor pertanian (dalam arti
luas). Dalam posisi sistem ekonomi yang demikian, basis mata pencarian rumah
tangga petani adalah segala aktivitas ekonomi sektor pertanian dan
non-pertanian. Karakteristik sistem livelihood yang dicirikan dengan
bekerjanya kedua sektor ekonomi semacam ini, dibangun oleh 3 elemen penting.
Ketiga elemen tersebut yaitu: (1) infrastruktur sosial (setting kelembagaan dan
tatanan norma sosial yang berlaku, (2) struktur sosial (setting lapisan Livelihood
adalah istilah pembangunan yang menggambarkan kemampuan (capabilities),
kepemilikan sumber daya (sosial dan material), dan kegiatan yang dibutuhkan
seseorang/masyarakat untuk menjalani kehidupannya (Ramli, 2007). Secara
etimologis, livelihood dapat diartikan sebagai aset (alam, manusia,
finansial, sosial dan fisik), aktifitas dimana akses atas aset dimediasi oleh
kelembagaan dan relasi sosial yang secara bersama mendikte hasil yang diperoleh
oleh individu maupun keluarga (Seragih, dkk 2007). Sementara itu, akses dapat
didefinisikan sebagai suatu aturan dan norma sosial yang mengatur atau
mempengaruhi keampuan yang berbeda antar individu dalam memiliki, mengontrol,
mengklaim atau menggunakan sumber daya seperti penggunaan lahan di pedesaan.
Livelihood dapat diartikan sebagai penghidupan dalam
arti luas. Livelihood atau penghidupan juga dapat diartikan sebagai
upaya yang dilakukan setiap orang untuk memperoleh penghasilan, termasuk kapabilitas
mereka, aset yang dapat dihitung seperti ketersediaan dan sumber daya, serta
aset yang tak bisa dihitung seperti klaim dan akses. Sementara itu, konsep livelihood
berkelanjutan dimaknai sebagai “kemampuan, aset (pasar, sumberdaya, klaim
kepemilikan, dan aset) serta aktivitas-akitivitas yang diperlukan untuk
menunjang kehidupan” (WCED, 1987 dalam Chambers & Conway, 1991). Dengan
kata lain, livelihood atau penghidupan ini dapat dipahami sebagai suatu
ketahanan dalam menunjang pemulihan atau perbaikan dari goncangan atau tekanan;
kemampuan memelihara atau meningkatkan aset; dan ketahanan menyediakan peluang
penghidupan untuk menyokong manfaat penghidupan generasi mendatang dalam skala
lokal dan dalam jangka pendek atau panjang. Aspek kehidupan dan penghidupan
difokuskan pada kemampuan, termasuk sumber daya material dan sosial; modal; dan
aktivitas sebagai komponen yang dapat menjelaskan mengapa masyarakat lokal
masih bisa bertahan dan mengatasi kesulitan akibat goncangan hidupnya (Scoones
1998:5; Chambers dkk, 1992 dalam Mukbar: 2009).
Menurut Sajogyo (dalam
Dharmawan; 2007), livelihood dan mata pencarian masyarakat pedesaan
selalu merujuk pada sektor pertanian (dalam arti luas). Dalam posisi sistem
ekonomi yang demikian, basis mata pencarian rumah tangga petani adalah segala
aktivitas ekonomi sektor pertanian dan non-pertanian. Karakteristik sistem livelihood
yang dicirikan dengan bekerjanya kedua sektor ekonomi semacam ini, dibangun
oleh 3 elemen penting. Ketiga elemen tersebut yaitu: (1) infrastruktur sosial
(setting kelembagaan dan tatanan norma sosial yang berlaku, (2) struktur sosial
(setting lapisan sosial, struktur agraria, struktur demografi, pola hubungan
pemanfaatan ekosistem lokal, pengetahuan lokal), (3) supra-struktur sosial.
Livelihood pedesaan pada dasarnya mengikat
keluarga petani dan non petani sebagai satu kesatuan dalam area pedesaan dengan
karakteristiknya masing-masing. Kondisi pendesaan, baik secara infrastruktur,
administratif, dan organisasi pedesaan memberi pengaruh pada sistem livelihood
pedesaan yang pada akhirnya juga berdampak pada pembangunan wilayah secara
keseluruhan.
Aset Livelihood
Daerah pedesaan umumnya masih memiliki ikatan kekerabatan yang kuat,
termasuk didalamnya hubungan pertukaran modal, akses yang besar terhadap
kekayaan sumber daya hutan, dan pengetahuan lokal yang baik. Namun kelemahan
mereka atas semua itu adalah rendahnya modal finansial yang dimiliki, serta
akses yang terbatas terhadap pendidikan formal.
Masyarakat membutuhkan sejumlah aset untuk mencapai tingkat livelihoods
yang positif. Oleh karena itu, kepemilikan hanya satu jenis aset dirasa tidak
lagi cukup untuk mencapai hasil-hasil penghidupan yang jumlahnya banyak dan
berbeda-beda, terutama bagi warga miskin/marginal yang memiliki keterbatasan
akses terhadap capital aset. Sebagai akibatnya, orang-orang tersebut
harus mencari cara untuk memperoleh dan menggabungkan berbagai aset yang
benar-benar mereka miliki dengan cara yang inovatif guna mempertahankan hidup.
Kekuatan seseorang ditentukan oleh besar/kecilnya, keragaman, dan keseimbangan
antar aset.
FAO (Food Agricultural Organization) mengemukakan setidaknya ada 5
aset yang mempengaruhi bentuk-bentuk penghidupan masyarakat pedesaan. Kelima
aset livelihood tersebut dapat disederhanakan sebagai bentuk pentagon
segi lima (FAO, 2003).
Adapun kelima aset yang mempengaruhi livelihood dapat diurai sebagai
berikut :
a. Sumber daya manusia
Sumber daya manusia yang dimaksudkan sebagai aset livelihood dapat
dilihat berdasarkan kesehatan masyarakat, kesempatan kerja, pengetahuan,
pendidikan, kemampuan yang dimiliki serta tenaga kerja. Di kawasan pedesaan
memang terdapat peningkatan kuantitas tenaga kerja, tetapi pada dasarnya
kenaikan tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar di pedesaan.
b. Modal sosial
Modal sosial merupakan alasan yang mengakibatkan orang dapat bekerja
bersama, baik dalam rumah tangga maupun dalam masyarakat luas. Di dalam
kehidupan masyarakat, masing-masing rumah tangga yang berbeda akan dihubungkan
bersama oleh ikatan kewajiban sosial, hubungan timbal balik, kepercayaan dan
hubungan yang saling mendukung.
c. Modal fisik
Modal fisik termasuk kedalamnya alat, infrastruktur seperti jalan,
pelabuhan, baandara, serta fasilitas pasar (dalam artian yang lebih luas), air,
atau fasilitas perawatan kesehatan yang akan mempengaruhi kemampuan orang lain
untuk mendapatkan kehidupan yang layak.
d. Modal finansial
Modal keuangan yang tersedia bagi rumah tangga pedesaan berasal dari hasil
poduksi pertanian. Mereka juga dapat menggunakan kredit formal dan informal
untuk melengkapi sumber keuangan mereka.
e. Sumber daya alam
Bagi masyarakat pedesaan yang termasuk dalam sumber daya alam antara lain
tanah, air, sumber daya hutan, dan ternak. Tanah merupakan salah satu dari dua
sumberdaya utama populasi pedesaan. Ketersediaan lahan tergantung pada
banyaknya rumah tangga dan sistem kepemilikan lahan. Biasanya petani memiliki
akses tanah melalui warisan, sewa tanah dan bagi hasil. Namun belakangan dalam
kehidupan pedesaan masyarakat, distribusi tanah melalui warisan sudah mulai di
tinggalkan.Oleh karenanya, mulai terdapat ekspansi lahan pertanian pada
lahan-lahan lindung. Akibatnya jumlah pemilik lahan menurun dan rumah tangga
yang tidak memiliki lahan meningkat.
Berbagai aset yang dikemukan tersebut di atas, selayaknya menjadi kebutuhan
yang diperlukan secara bersamaan untuk saling menunjang dan sekaligus menjamin
keberlangsungan penghidupan masing-masing individu dan rumah tangga.
Ketersediaan akses terhadap sumber kapital pun berpengaruh terhadap proses
pembentukan bahkan perubahan struktur dalam masyarakat. Lebih jauh lagi hal
tersebut berpengaruh terhadap pendapatan dan keberlanjutan rumah tangga.
Kekuatan sumber daya atau aset yang dimiliki antar keluarga dalam sebuah
pedesaan ataupun antara individu dalam keluarga tidaklah homogen. Oleh karenanya
aktifitas/kegiatan setiap masyarakat yang berbeda menuju capaian dan hasil
penghidupan yang berbeda-beda pula. Istilah „miskin‟ sendiri dalam konteks
kekinian bisa dipahami sebagai suatu capaian atau hasil penghidupan yang
dicapai hingga „saat ini‟ yang diindikasikan oleh penguasaan/ pemilikan/akses
atas aset atau sumber daya atau capital/modal yang terbatas.
Pada tingkatan yang
paling kasat mata, kaum miskin atau yang dipersepsikan miskin dalam
kenyataannya memiliki capital asset yang sangat terbatas. Lazimnya, satu
aset sumber daya alam bisa menghasilkan keuntungan ganda. Sebagai contoh, jika
seseorang memiliki akses yang aman terhadap tanah atau lahan (natural
capital) mereka sangat mungkin juga terfasilitasi untuk mendapatkan financial
capital, karena mereka bisa menggunakan tanah atau lahan tersebut bukan
hanya untuk kegiatan produksi (pertanian) sendiri semata tetapi juga bisa
disewakan.
Dimuat dalam Tugas Akhir Aulisa Rahmi; 2012; Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Petani dalam Sistem Livelihood Pedesaan Kedungjati
7 komentar:
kakak, perkenalkan nama saya pepi jurusan PWK Undip. Kak saya sedang membuat skripsi tentang livelihood juga, namun saya terkendala dalam kajian pustaka indonesia yang menjelaskan livelihood. Jika kakak berkenan saya mau minta kajian pustaka dari kakak, sehingga saya bisa mencarinya kak. terimakasih kak
saya ada referensi full tentang livelihood mulai dari buku, e-book bahkan jurnal inter dan nasional karena saya kemarin juga menjadikan livelihood sebagai judul skripsi juga... silahkan chat atau telpon fb: mwaqid@yahoo.com atau sms/telp 081935137629
mbak, masih ada nyimpan e-book atau jurnal tentang livelihood? boleh bagi ke email saya? lagi butuh buku tentang livelihood untuk skripsi..
ini email saya : aprilayani48@yahoo.com
kak, kenalin sy fira. sy juga lagi menyusun skripsi tentang livelihood. kalau kk berkenan, sy bisa minta referensi kk juga terkait livelihood? mohon bantuannya kak. ke email sy: fitriahishaq@gmail.com. terimakasih sebelumnya.
perkenalkan saya isna. kebetulan saya membutuhkan refrensi tentang sistem livelihood. jika kakak berkenan bolehkah saya minta refrensi tentang livelihood? terimakasih..
Boleh saya minta rabxa
Bidadarikehidupan@gmail.com
Posting Komentar